“Gua duluan, yak! Keburu ujan.” Jeff berpamitan dengan Tama dan Ghea sambil bergegas menuju motornya. Mereka sudah berada di area parkir cafe yang cukup luas.
“Tiati, Jep!” ucap Tama. Ghea melanjutkannya dengan, “Kabarin kalau udah sampe!”
Jeff yang sudah memakai helmnya merespon dengan acungan jempol sambil berteriak, “Lu berdua yang ati-ati! Jangan berantem tanpa gua! Bahaya!”
“Siapa yang berantem coba..” gerutu Tama saat berjalan menuju mobilnya. Ghea hanya tertawa pelan sambil mengikuti langkah lelaki di depannya itu.
“Bentar. Gue pindahin barang-barang ke belakang dulu.” Tama membuka pintu passenger mobil Mazda hitamnya itu, memperlihatkan kondisi jok depan yang penuh barang-barang entah keperluan kuliah atau himpunan.
“Buset. Gue duduk di belakang aja gapapa tau, Tam.” ucap Ghea bercanda.
“Lo kira gue supir gocar?” tanya Tama dengan sedikit kesal. Ia memindahkan beberapa jilid buku ke jok belakang.
Ghea terkekeh pelan, “Gue bantuin sini biar cepet.” tawarnya.
“Nggak. Udah.” ucap Tama. Ia akhirnya menutup pintu belakang, menyisakan pintu passenger depan yang masih terbuka. Cowok itu kemudian menatap Ghea.
Gadis yang ditatap itu bingung, “Apa?” tanyanya.
“Ya masuk.” jelas Tama menginstruksi.
“Oh.”
Aneh, gumam Ghea. Perlakuan Tama sejak tadi cukup membuat gadis itu tertegun. Menawarkan diri untuk mengantarkan pulang saja sudah aneh, ditambah adegan menutupkan pintu mobilnya setelah gadis itu duduk.
Masih ada lagi, baru saja Tama menaikkan suhu AC mobilnya setelah melihat Ghea mengusap kedua lengannya sendiri karena kedinginan. Bare minimum, tapi tetep aja aneh, soalnya ini Tama.
Kondisi di luar sudah mulai hujan, membuat Ghea teringat akan Jeff yang tadi pulang mengendarai motor.
“Jeff kosannya deket cafe tadi. Harusnya tu anak ga sempet kehujanan, sih.” ucap Tama seolah bisa membaca pikiran Ghea. Kalimat itu memecah keheningan mereka selama di perjalanan. Percakapan terakhir mereka tadi sebelum berangkat hanya membahas arah tempat tinggal Ghea. Setelah itu hanya ada suara alunan lagu band lawas dari speaker mobil Tama yang Ghea yakini lagu itu berasal dari playlist milik lelaki itu sendiri. Not really her cup of tea, tapi Ghea juga tidak berniat untuk berkomentar.
Ting! Ting! Layar handphone Ghea memperlihatkan notifikasi pesan dari Jeff yang menginfokan kalau dirinya sudah sampai.
“Bener kata lo, Tam. Udah sampe anaknya. Cepet juga.”
“Mana? Liatin chatnya.” pinta Tama.
“Dih? Lo fokus nyetir aja.”
“Bilang apa dia?”
“Gua udah sampe ya, Ghe. gitu.”
“Gitu doang?”
“Ya intinya gitu.”
“Tadi notifnya dua kali.” ucap Tama, membuat Ghea memutar bola matanya.
“Hadeh..”
“Bilang apa lagi tu anak?”
“Asli ga penting. Lo tau sendiri anaknya suka bercanda.”
“Ck. Tinggal bilang.”
“Yaa dia cuma nyuruh kalau ada apa-apa telfon aja gitu.”
Mendengar itu, Tama terkekeh, “Ada apaan coba.”
Gadis di sampingnya hanya mengangkat pundaknya tidak peduli, “Tauk deh.”
Another silence, Ghea mulai merasa canggung. Ia kembali melihat jalanan. Terlintas kalimat dari Emily yang menyuruhnya untuk clear things up with him, tapi Ghea masih belum siap untuk menghadapi respon Tama nantinya.
Ghea akhirnya membuka suara untuk basa-basi, “Lo divisi humas bukan, Tam?”
“Hmm. Hubungan Luar.” jawab Tama dengan pandangan yang fokus ke jalan.
“Rangkap jadi logistik juga, ya?” Ghea menoleh ke arah jok belakang, melihat barang-barang keperluan himpunan yang bertumpukan. Terdapat juga sebuah maket dan peralatannya di samping barang-barang tersebut.
“Engga. Gue cuma bantuin dikit aja.”
“Eh, itu yang di belakang maket lo?” tanya Ghea tiba-tiba. Pertanyaan itu membuat Tama menengok ke arah Ghea sekilas, genggaman tangannya di setir sedikit menguat.
“Kenapa?” tanya Tama balik, “Jelek ya? Belum selesai itu.”
“Lah? Gue kira udah selesai.”
“Gue kira lo mau ngatain lagi.” tukas Tama. Kalimat itu membuat Ghea berpindah pandangan ke Tama sesaat, kemudian menyenderkan punggungnya ke jok dan kembali melihat jalanan di depan, mengambil nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Not this again.
“Gue sebenernya males ngomong gini tapi tadinya gue mau muji maket lo bagus, makanya gue ngiranya udah selesai. Ga jadi.” jelas Ghea dengan ketus. “You and your random assumption about me..” lanjutnya pelan.
“Ga jadi tapi udah lo omongin tuh gimana? Boongan ya mujinya?” tanya Tama yang masih tidak menganggap omongan Ghea serius.
“Kalo beneran gimana?”
“Emang iya?” tanya Tama, sedikit ada nada berharap pada ucapannya.
“Iya. I’ve always thought kerjaan lo bagus despite being active in organizations and such. Gue kebalikan lo soalnya.”
“Serius kerjaan gue lo bilang bagus?”
“Ga semua, sih. Mungkin di teori-teori kaya tugas kemaren lo rada ancur. But I feel like when it comes to practical stuff you’re kinda gifted. Kalo gue masih harus ada extra effort for that.” jelas Ghea.
“Hmm.. Jadi lo merasa better di teori?”
“Gue ga ada bilang gitu ya tadi. I’m trying my best in all aspects, though.”
“You kinda sound like you enjoy being an architecture student.”
“’Cause I do. Don’t you?”
“I thought you could guess — Abis ini belok kanan?”
“Bukan, masih satu lampu merah lagi,” jawab Ghea, kemudian ia melanjutkan perkataanya, “So you don’t enjoy it? That’s a surprise.”
Tama menghebuskan nafasnya. “Ya menurut lo aja kenapa gue pilih ikut banyak kegiatan lain..”
“Oh.. Pelarian ya..” gumam Ghea memahami.
Somehow that whole conversation made her understand more about him, especially over the fact that he was very overwhelemed by someone’s comment, which he thought it was hers. Though she still doesn’t understand that part, she decides to keep the questions once again for another time. This moment is too civil for them to be ruined by another bickering.
It won’t hurt to act nice, right?
Tama tidak merespon lagi, lelaki itu kembali fokus menyetir, ia berusaha melihat lampu merah di depan dikarenakan hujan deras membuat pandangannya sedikit kurang jelas.
Saat mobil berhenti di lampu merah, Ghea izin untuk menyalakan lampu mobil sebentar saja untuk mencari barang di tasnya. Ia langsung mematikan lampunya setelah barang yang dicari ketemu, sebuah lip balm. Cuaca dingin akhir-akhir ini membuat bibirnya menjadi lebih kering sehingga selalu membawa benda tersebut.
Ghea kemudian mengaplikasikan balm tersebut ke bibirnya tanpa melihat cermin. Tama melirik ke arah gadis itu, melihat sebuah jar Vaseline di tangannya.
“Itu sama kayak yang waktu itu buat luka gue, kan?” tanya Tama membuka suara.
“Huh? Beda.”
“Kirain sama.”
“Cuma beda varian, sih. Ini yang stroberi. Gue bawa yang biasanya juga. Luka lo belum sembuh emangnya?”
“Nih. Perlu lagi ga?” Tama menyodorkan tangan kirinya.
“Gelap, ga keliatan, yang jelas masih bisa dipakein lagi sih sampe bener-bener pudar..” jawab Ghea.
“Pakein, dong.” kata Tama dengan ekspresi datar.
Ghea sedikit kaget akan ucapannya, ia melirik lampu merah di depan, “Udah hijau, jalan gih.”
“Oh,” Tama langsung mengembalikan tangannya ke setir dan lanjut menjalankan mobilnya.
“Ntar lo bawa aja punya gue. Tapi kembaliin.” ucap Ghea.
Tama hanya menganggukkan kepalanya sambil memajukan bibirnya, sebuah kebiasaan kecil yang ia lakukan tanpa ia sadari. Gue yang sadar, batin Ghea. Gadis itu membuang muka ke arah jendela untuk berusaha menyudahi pikirannya yang tidak penting. Ia kemudian mengisyaratkan Tama untuk berbelok setelah ini. Mereka sudah hampir sampai.
“Yang gerbang item depan itu, Tam.” jelas Ghea sambil menunjuk ke arah kosnya. “Eh — Stop!”
Tama mengernyitkan alisnya, “Yang mana sih? Kelewatan?”
“Itu yang belakang, yaudah gapapa.”
“Kalo gitu sekalian muter disitu. Mundur di gang situ bisa, kan?” jelas Tama. Ia kemudian menjalankan mobilnya ke arah gang depan untuk berbalik arah.
“Bisa. Oiya, gue nyalain lampunya lagi, ya. Mau nyari yang buat lo tadi.”
Ghea kemudian merogoh tasnya untuk mencari balm tersebut. Harusnya gue masukin pouch biar ga susah nyarinya. Gadis itu sibuk berkutit dengan tasnya, tidak sadar bahwa Tama sempat memandanginya saat lelaki itu tengah menengok ke belakang untuk memundurkan mobilnya dengan satu tangan di setir.
Hujan sudah tidak sederas tadi. Mobil Tama sudah berhenti di depan gerbang kosan Ghea dan ia baru akhirnya menemukan benda yang dicari sedari tadi di tasnya.
“Cokelat yang lo minum tadi belum abis, Ghe.”
“Hah? Eh, ini ya, lo pake tiap berasa kering aja.” kata Ghea sambil memberikan Vaseline varian biasa kepada Tama, ia menaruhnya di dekat dashboard. “Taruh disini, biar ga ilang.” jelasnya lagi.
“Emang yang varian stroberi rasanya kaya stroberi juga?” tanya Tama randomly.
“Em.. Ga pernah gue rasain juga, sih. You wanna— ”
Ucapan Ghea terjeda karena ia tiba-tiba merasakan hangat di pipi kanan dan ujung bibirnya. Kehangatan itu berasal dari sentuhan jemari Tama yang berusaha mengusap sesuatu di wajah gadis itu.
“ — try..?” Ghea menyelesaikan pertanyaannya dengan volume sangat kecil. Ia kebingungan.
“I-itu sisa minuman lo tadi. I can’t take you seriously with that chocolate stain on your face.” jelas Tama tanpa ditanya. Ibu jari Tama masih bergerak di ujung bibir Ghea. “Lo ngomong apa barusan?”
You wanna try?
Dengan posisi mereka saat ini, tidak mungkin Ghea mengulangi perkataannya lagi. Belum pernah mereka berada di situasi sedekat ini sebelumnya.
You wanna try the strawberry balm that I applied on my fucking lips?
Secara tidak sadar, nafas Ghea saat ini terasa berat. The whole situation made Ghea speechless, and that reaction affected Tama. His thumb finally stopped moving. He realized what he has been doing at that moment, but he couldn’t move an inch. His hand was still holding her face. Only his eyes that finally moved from looking into her eyes then her lips over and over again frantically.
Ghea panik. Ia langsung sadar dengan situasinya lalu melepas genggaman Tama dari wajahnya. “No — I mean, nothing. Thanks for the ride. Gue balik ya.”
Tama spontan menahan tangan gadis yang akan turun dari mobilnya itu, “Hujan. Gue ambil payung dulu.”
Ghea secara reflek menepis genggaman lelaki itu dan bergegas turun dari mobil. “Ga usah! Deket doang. Thanks anyway. Bye!”
Gadis itu langsung menutup pintu mobil. Dengan tas yang diangkat di atas kepalanya, ia berlari menerjang hujan menuju gerbang kos yang untungnya tidak terkunci, sehingga ia bisa langsung masuk ke dalam.
Tama menyenderkan badannya pada jok mobil, menghela nafasnya. Lampu interior mobil masih menyala. Berusaha mengingat apa yang barusan telah terjadi, ia mengacak-acak rambutnya sebelum menutup wajahnya dengan frustasi. “Why the fuck did I do that?!” gerutunya terhadap dirinya sendiri.
Setelah beberapa hela nafas, lelaki itu akhirnya mematikan lampu di mobilnya dan menginjak pedal gas untuk menuju jalan pulang. Alunan lagu dari Avril Lavigne yang berjudul Complicated malah semakin mengacaukan kondisi hatinya di perjalanan saat itu.
Why do you have to go and make things so complicated?